Pantun Persatuan dan Kesatuan Masyarakat Pelalawan, Riau


Pantun persatuan dan kesatuan ini bertujuan untuk mengokohkan semangat tenggang rasa atas sesama manusia meskipun berbeda-beda.

1. Asal-usul

Orang Melayu memang identik dengan pantun. Hampir seluruh sastra dan kehidupan orang Melayu banyak dituangkan melalui syair-syair pantun, salah satunya tentang semangat persatuan dan kesatuan di masyarakat Pelalawan, Provinsi Riau (Budi S. Santoso, 1986). Pantun ini masih sering dilantunkan dalam upacara-upacara adat dan didendangkan ketika kerja bakti di kampung-kampung.
Pantun persatuan dan kesatuan masyarakat Pelalawan telah ada sejak zaman pemerintahan Kerajaan Pelalawan. Kerajaan ini juga mengatur masyarakatnya dengan adat yang terkandung dalam pantun ini (Jaafar TS, 1941). Pantun ini bertujuan untuk mengokohkan semangat tenggang rasa masyarakat atas sesama manusia, meskipun mereka berbeda. Ketika masyarakat bersatu, maka akan menumbuhkan semangat hidup gotong royong yang selaras dengan pantun Melayu: Duduk sama rendah, tegak sama tinggi dalam selapik sepiring makan (Tenas Effendy, 1991).
Mengingat kandungan nilainya yang luhur, pantun ini menjadi salah satu bahan Tunjuk Ajar Melayu (Effendy, 2006). Melalui pantun-pantun seperti ini, orang Melayu diharapkan dapat belajar dan mengingat petuah-petuah leluhur. Pantun Melayu hingga sekarang masih menjadi identitas kebudayaan Melayu yang luhur.


2. Konsepsi Pantun Persatuan dan Kesatuan

Untaian pantun persatuan dan kesatuan memiliki pola yang unik, yaitu perbandingan antara satu kalimat dengan kalimat yang lain sangat ritmis dan enak untuk dipahami. Hampir miripnya bahasa orang Pelalawan dengan bahasa Indonesia juga memudahkan dalam memahami maknanya. Berikut adalah untaian pantun-pantun tersebut:
Sompit samo berimpit, ke ulu samo begalah
(sempit sama berimpit, lapang sama melenggang)
Ke ilei samo bekayou, ke ulu samo begalah
(ke hilir sama berkayuh, ke hulu sama bergalah)
Tecampak samo pecah, tebuang samo anyut
(tercampak sama pecah, terbuang sama hanyut)
Telontang samo punah, telungkup samo habis
(terlentang sama punah, telungkup sama habis)
Menepat samo belabo, ilang samo meugi
(mendapat sama berlaba, hilang sama merugi)
Teguling samo kono lapah, telungkup samo makan tanah
(terguling sama kena lapah, telungkup sama makan tanah)
Sakit jonguk menjonguk, sonang jolang menjolang
(sakit jenguk menjenguk, senang jelang menjelang)
Sekopal samo dibagi, sekuku samo bolah
(sekepal sama dibagi, sekuku sama dibelah)
Lobei boi memboi, kuang tanmah menambah
(lebih beri member, kurang tambah menambah)
Makan tidak meabiskan, minum tidak mengoingkan
(makan tidak menghabiskan, minum tidak mengeringkan)
Dalam sompit bebagi sakit, dalam lapang bebagi sonang
(dalam sempit berbagi sakit, dalam lapang berbagi senang)
Kaut tidak memunah, kouk tidak memupus
(karut tidak memanah, keruk tidak memupus)
Codik tidak menjual, kuat tidak melosikan
(cerdik tidak menjual, kuat tidak melesikan)
Tinggi tidak melimpo, boso tidak melando
(tinggi tidak menimpa, besar tidak melanda)
Manis samo dimakan, pahit samo ditelan
(manis sama dimakan, pahit sama ditelan)
Boat sama dipikul, engan samo dijinjing, ati gajah sama dilapah, ati kuman samo dicacah
(berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, gajah sama dilapah, hati kuman sama dicacah)
Yang codik jadi penyambung lidah, yang beani jadi pelapis dado
(yang cerdik jadi penyambung lidah, yang berani jadi pelapis dada)
Yang tuo tompat betanyo, yang mudo tompat menyayo
(yang tua tempat bertanya, yang muda tempat menyeraya)
Yang alim tompat begu-u
(yang alim tempat berguru)
Besambung indak panjang, betampun indak lebo
(bersambung ehndak panjang, bertampung hendak lebar)
Topat ke isi samo dibagi, topat ke tulang samo dipandang
(tepat ke isi sama dibagi, tepat ke tulang sama dipandang)
Ke laot samo begelombang, ke utan samo besumak
(ke laut sama bergelombang, ke hutan sama bersemak)
Melangkah samo seiring, melenggang samo seayun
(melangkah sama seiring, melenggang sama seayun)
Kusut samo diusaikan, ko-ou samo dijoneikan
(kusut sama diusaikan, keruh sama dijernihkan)
Selapik seketidou-an, sebaju sepakaian
(selapik setiduran, sebaju sepakaian)
Setalam sepiring semakan
(setalam sepiring makan)
Seperiuk sebelango, sebantal sekalang bahu
(seperiuk sebelanga, sebantal sekalang bahu)
Segelanggang sepemainan, sekaum secucouan atap
(segelanggang sepermainan, sekaum secucuran atap)
Sangkut sama ditarik, jatou samo ditogakkan
(tersangkut sama ditarik, jatuh sama ditegakkan)
Kocik bebaik-baik, boso beelok-elok
(kecil berbaik-baik, besar berelok-elok)
Mudo togou menogou, tuo sapo menyapo
(muda tegur menegur, tua sapa menyapa)
Lupo ingat-ingatan, tidou jago-jagoan
(lupa ingat-ingatkan, tidur jaga menjagakan)
Kosat samo dipolas, bongkol samo ditarah
(kesat sama diampelas, bongkol sama ditarah)
Ilang samo disawang, anyut samo diunut
(hilang sama disawang, hanyut sama diunut)
Sosak samo beasak, lapang samo bekiah
(sesak sama berasak, lapang sama berkiah)
3. Nilai-nilai
Pantun persatuan dan kesatuan mengandung nilai-nilai dalam kehidupan orang Melayu, antara lain:
  • Meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan. Nilai ini tercermin jelas dari kalimat-kalimat dalam pantun ini yang memantik rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dalam menyikapi perbedaan yang ada. Puncaknya adalah lahirnya masyarakat yang menghargai perbedaan. 
  • Melestarikan tradisi sastra tradisional. Melantunkan pantun merupakan salah satu wujud pelestarian tradisi sastra Melayu tradisional. Pelestarian pantun menjadi adalah penting untuk menjaga identitas kebudayaan Melayu yang utama.   
  • Menjaga adat. Pantun adalah salah satu media orang Melayu dalam mengajarkan adat-istiadat. Melalui pantun, orang Melayu ingin menegaskan bahwa adat harus dijunjung tinggi.
  • Mengajarkan tidak sombong. Pantun ini selain mengajarkan semangat persatuan dan kesatuan, juga mengandung nilai semangat untuk tidak sombong. Setidaknya ini tercermin dari kalimat-kalimat selapik seketidou-an, sebaju sepakaian (selapik setiduran, sebaju sepakaian) dan setalam sepiring semakan (setalam sepiring makan). Melalui pantun ini, orang diajarkan untuk apa adanya dalam bersikap.
  • Menghormati yang tua. Pantun ini juga mengajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua. Setidaknya ini tercermin dari kalimat yang tuo tompat betanyo, yang mudo tompat menyayo (yang tua tempat bertanya, yang muda tempat menyeraya).
  • Menghormati yang berilmu. Pantun ini juga mengandung nilai untuk menghormati orang yang berilmu karena ia yang mengajarkan ilmu dan menjadi guru. Ini tercermin dalam kalimat yang alim tompat begu-u (yang alim tempat berguru).

4. Penutup

Mencermati untaian kalimat pantun persatuan dan kesatuan menyadarkan bahwa sejatinya leluhur nusantara ini telah mengajarkan hidup saling bekerjasama dan berdampingan dengan menghormati perbedaan sejak lama. Semoga ini menjadi pelajaran bersama.   
(Yusuf Efendi/Bdy/47/03-2011)
Referensi
Budi S. Santoso, 1986. Masyarakat Melayu dan kebudayaannya. Riau: Pemda.
Jaafar TS, 1941. Ringkasan sejarah Kerajaan Pelalawan. Riau: Pemda
Nizamil Jamil (ed), 1982. Upacara perkawinan adat Riau. Riau: Bumi Pustaka
Tenas Effendy, 1991. Adat istiadat dan upacara perkawinan dibekas Kerajaan Pelalawan. Riau: Lembaga Adat Daerah.