Lambang-Lambang dalam Pantun Melayu Riau

oleh Ediruslan Pe Amanriza dan O. K. Nizami Jamil
Pantun merupakan bentuk puisi dalam kesusastraan Melayu yang paling luas dikenal. Pada masa lalu pantun digunakan untuk melengkapi pembicaraan sehari-hari. Sekarang pun sebagian besar masyarakat Melayu di pedesaan masih menggunakannya. Pantun dipakai oleh para pemuka adat dan tokoh masyarakat dalam pidato, oleh para pedagang yang menjajakan dagangannya, oleh orang yang ditimpa kemalangan, dan oleh orang yang ingin menyatakan kebahagiaan.
Ada sebuah pantun yang melukiskan betapa pentingnya bentuk puisi lama ini dipakai dalam kehidupan masyarakat Melayu Riau. Pantun tersebut berbunyi:
Secantik seelok inilah parak
Tak berdasun barang sebuah
Secantik seelok inilah awak
Tak berpantun barang sebuah
Berbagai pendapat mengenai asal dan makna pantun dikemukakan di sini. Ada yang berpendapat bahwa makna pantun sama dengan “umpama” dalam masyarakat Batak. Sementara ada yang berpendapat bahwa kata pantun berasal dari pa-tuntun (pa-tuntun = penuntun), sebagaimana dikemukakan oleh Zuber Usman. Sementara itu A. A. Navis (1985) dalam bukunya Alam Terkembang Jadi Guru menjelaskan bahwa perubahan bunyi pa-tuntun menjadi “pantun” adalah hal yang lazim dalam bahasa Melayu dan Minangkabau, seperti halnya kata “rumput-rumput” menjadi “rerumput” dan “laki-laki” menjadi “lelaki”. Beberapa pantun Melayu sendiri menunjukkan bahwa kata sepantun sama dengan seumpama, seperti pada ungkapan, “Kami sepantun anak itik, kasih ayam maka menjadi” atau “Tuan sepantun kilat cermin, di balik gunung tampak jua”.
Sejumlah ahli bahasa dan ahli antropologi berpendapat bahwa pantun merupakan bentuk lanjutan dan pertumbuhan dari peribahasa dan perumpamaan. Kalimat perumpamaan diberi pengantar yang bunyi dan maknanya sangat mirip. Kalimat pengantar tersebut bukan seperti sampiran dalam pantun. “Sampiran sebuah pantun adalah kiasan dari isi pantun, sementara isi pantun adalah kiasan tentang sesuatu,” kata A. A. Navis. Chairul Harun lebih luas berpendapat bahwa sampiran sebuah pantun mengungkapkan sesuatu dari dunia makro, sementara isinya mengungkapkan sesuatu dari dunia mikro.
Sebuah ungkapan lama yang berbunyi “Kerbau tahan palu, manusia tahan kias” tampaknya memang menyimpulkan bahwa pantun adalah alat untuk membuat kias. Dalam percakapan sehari-hari masyarakat Melayu, orang mengemukakan pendapatnya dengan pantun, dan lawan bicara sudah maklum dengan maksud pembicara. Dengan demikian pantun merupakan salah satu alat komunikasi yang cukup efektif untuk mengemukakan pendapat atau melancarkan kritik. Hal ini sudah mentradisi dalam masyarakat Melayu sejak zaman dahulu. Pertanyaan yang muncul kenapa pantun dan bukan hasil kesusastraan yang lain? Oleh karena pantun adalah hasil kesusastraan yang pandai “mencubit” tanpa menimbulkan “rasa sakit”. Kias yang dibiaskan pantun langsung mencapai sasaran tanpa menjatuhkan marwah orang yang dituju. Cara mengemukakan pendapat dan melancarkan kritik seperti itu merupakan salah satu sikap orang Melayu Riau. Jadi, bukan makna atau arti pantun yang melibatkan sikap hidup si pemakai, seperti pendapat yang berkembang selama ini.
Beberapa tahun yang lalu ada sebuah pantun yang dimuat dalam surat kabar terkemuka di ibu kota. Pantun tersebut dinyatakan sebagai pantun yang menunjukkan sikap orang Melayu Riau yang suka berhiba-hiba dan perajuk. Pantun tersebut berbunyi:
Tudung periuk pandai(lah) menyayi
Ditarikan oleh putra mahkota
Kain yang buruk berikan kami
Untuk menyapu si air mata
Pantun di atas sebenarnya tergolong pantun orang muda yang berisi ratapan tentang patah cinta. Kias yang dibiaskan lambang-lambang dalam pantun tersebut mengandung makna positif.
Pantun-pantun Melayu sarat dengan lambang-lambang. Kekurangtahuan makna lambang-lambang antropologis yang tersurat dalam pantun akan menyesatkan penarikan hakekat yang dikandungnya, karena lambang-lambang yang tersurat selalu mengandung makna tersirat, bahkan ada kalanya tersuruk atau tersembunyi. Orang awam, orang yang ahli, dan orang yang arif bijaksana akan memaknai kiasan sebuah pantun secara berlainan.
Pada pantun Tudung Periuk di atas, kata “periuk” melambangkan kehidupan, seperti dalam nasihat orang tua-tua yang berbunyi, “Hati-hatilah, nanti tertelungkup periuk nasimu.” Maksud nasihat itu ialah agar senantiasa berhati-hati dan waspada dalam menjalani hidup ini. Jika menjadi pegawai negeri, jangan membuat kesalahan seperti korupsi, kurang rajin, dan sebagainya. Kata “menari” atau “ditarikan” sama dengan “bermain” atau “dipermainkan”. “Putra mahkota” melambangkan generasi muda atau generasi penerus. Makna keseluruhan nasihat yang dicontohkan di atas berarti bahwa bila hidup ini dipermainkan oleh generasi muda, atau generasi muda suka bermain-main dalam menjalani kehidupannya, maka hanya kain buruklah yang akan tinggal padanya. Kain buruk sebagai lambang sesuatu yang sudah terbuang, yang dalam masyarakat Melayu dipergunakan sebagai alat untuk mengelap benda yang kotor. Jadi, pantun Tudung Periuk justru mengandung pesan kepada generasi muda yang bernilai tinggi. Penafsir yang mengatakan bahwa pantun tersebut mengandung arti sebagai sikap hidup yang suka berhiba-hiba dan merajuk, salah memaknai lambang-lambang dalam pantun. Hal ini tentu akan merugikan masa depan masyarakat Melayu.
Pantun sebagai hasil kesusastraan Melayu dapat dipilah-pilah dalam lima jenis, yaitu pantun adat, pantun tua, pantun muda, pantun suka, dan pantun duka. Pantun adat menurut isinya dapat dibagi dalam pantun yang berkenaan dengan tata pemerintahan, sistem kepemimpinan, dan hukum, sedangkan pantun suka berisi ejekan dan teka-teki.
Contoh pantun adat adalah:
Adat menyuluh sarang lebah
Kalau berisi tidak bersambang
Adat penuh tidak melimpah
Kalau berisi tidaklah kurang
Padat tembaga jangan dituang
Kalau dituang melepuh jari
Adat lembaga jangan dibuang
Kalau dibuang binasa negeri 
Lebat kayu pantang ditebang
Sudah berbuah lalu berdaun
Adat Melayu pantang dibuang
Sudah pusaka turun-temurun
Contoh pantun adat yang berkenaan dengan tata pemerintahan misalnya:
Anak gadis memepat kuku
Dipepat dengan pisau seraut
Terpepat pada betung tua
Betung tua dibuat lantai


Negeri dihuni berbagai suku
Ada seinduk ada seperut
Kampung diberi bertua
Rumah diberi bertungganai
Contoh pantun adat yang berkenaan dengan sistem kepemimpinan adalah:
Dahan kemuning biarlah patah
Asal mengkudu lebat berbuah
Di lahir raja disembah
Di batin rakyat memerintah
Contoh pantun adat yang berkenaan dengan hukum:
Sekali ladang berganti
Sekali tanaman berbuah
Tumbuhnya di situ jua
Sekali pembesar berganti
Sekali langgam berbuah
Adat begitu juga 
Orang Pahang membawa kapas
Orang Palembang membawa air
Yang mencencang yang memapas
Yang berhutang yang membayar
Contoh pantun tua yang berisi nasihat;
Patah lancang kita sadaikan
Supaya sampan tidak melintang
Petuah orang kita sampaikan
Supaya badan tidak berhutang
Burung punai memakan saga
Saga merah besar batangnya
Rukun dan damai di rumah tangga
Amal ibadat jadi tiangnya
Encik Mamat membelah bambu
Bambu berjalin rotan saga
Baiklah hormat kepada ibu
Supaya terjamin masuk surga
Contoh pantun muda :
Kalau ada selasih dulang
Kami menumpang ke Jawa saja
Buah hati kekasih orang
Kami menumpang ketawa saja
Hilang kemana bintang kartika?
Tidak nampak di awan lagi
Hilang kemana adik seketika
Tidak nampak berjalan lagi
Pisang serendah masaknya hijau
Ditunggu layu tak mau layu
Tinggi rendah mata meninjau
Ditunggu lalu tak mau lalu
Contoh pantun suka:
Elok-elok menunggang kuda
Tebing bertarah tanahnya licin
Elok-elok berbini muda
Nasi hangus gulainya masin
Contoh pantun suka (mengejek) misalnya,
Gunting Cina ada pasaknya
Gunting Siantan apa besinya
Bunting betina ada anaknya
Bunting jantan apa isinya
Contoh pantun suka (teka-teki) :
Pulang mengail membawa sepat
Sepat dijual orang Melaka
Makan di laut muntah di darat
Kalau tahu cobalah terka
Contoh pantun duka :
Sayang Serawak sungailah sempit
Buah rengas lambung-lambungan
Hendak dibawa perahuku sempit
Tinggal emas tinggallah junjungan
Kalau meletus Gunung Sibayak
Alamat Medan menjadi abu
Angin berhembus layarku koyak
Pulau yang mana hendak dituju
Dari beberapa pantun di atas dapat disimpulkan bahwa lambang-lambang yang digunakan di dalamnya, baik sebagai sampiran maupun isi, adalah nama-nama benda atau makhluk yang ada di sekitar masyarakat Melayu. Benda-benda yang digunakan adalah tumbuh-tumbuhan, satwa, alat transportasi, alat-alat rumah tangga, dan perkakas lainnya yang sangat berguna bagi kehidupan mereka.